Berita3.net, SANGATTA – Pemerintah Kabupaten Kutai Timur (Kutim) tak memiliki ruang kendali dalam penerbitan izin toko modern. Sistem perizinan terpusat yang dijalankan secara otomatis membuat izin waralaba besar mengalir tanpa proses verifikasi dari pemerintah daerah.
Melalui OSS RBA, ratusan izin toko modern terbit hanya bermodal Nomor Induk Berusaha (NIB). Tak ada pengecekan teknis di lapangan, tak ada penilaian kesesuaian jarak, bahkan tidak mempertimbangkan keberadaan pasar rakyat maupun toko kelontong yang sudah lebih dulu berdiri.
Kondisi ini mengubah lanskap perdagangan Kutim. Di ruas-ruas utama Sangatta hingga beberapa kecamatan lain, gerai waralaba besar kini berdiri berdekatan, bahkan hanya sedikit meter dari warung tradisional.
Ketidakseimbangan ini memicu keresahan pelaku UMKM.
Puncaknya terjadi pada 2023, ketika asosiasi pedagang kecil menggelar protes. Mereka menilai pemerintah daerah “membiarkan” ekspansi toko modern. Padahal, sesuai aturan pusat ketika itu, izin memang keluar otomatis tanpa kewenangan daerah untuk menolak.
Padahal untuk kegiatan risiko rendah seperti toko modern, sistem otomatis menerbitkan izin dengan NIB saja,
OSS yang dirancang untuk mempermudah investasi justru menjadi bumerang. Kutim kehilangan kemampuan untuk menjaga keseimbangan pasar dan menata tata ruang secara efektif.
Namun situasi itu mulai berubah, Pemerintah pusat menerbitkan PP Nomor 28 Tahun 2025 yang mewajibkan dua tahap baru: konfirmasi kesesuaian ruang dan penapisan izin lingkungan (AMDALnet). Dengan aturan baru ini, pemerintah daerah kembali memiliki ruang untuk memberi verifikasi.
Tetapi agar proses ini berjalan, Kutim membutuhkan regulasi turunan berupa Peraturan Bupati yang kini sedang disiapkan.
Kepala Disperindag Kutim Nora Ramadani menegaskan bahwa Perbup lama Nomor 6 Tahun 2014 sudah tak relevan sejak OSS diberlakukan pada 2018. Tanpa dasar hukum baru, izin otomatis terus mengalir.
“Data PTSP menunjukkan 105 toko modern yang ada sekarang semuanya terbit otomatis,” ujarnya.
Lewat Perbup baru tentang Penataan dan Pengendalian Toko Modern, Kutim ingin kembali mengatur jarak minimal satu kilometer dari pasar rakyat, pembatasan jam operasional hingga maksimal pukul 22.00, kewajiban penyediaan lahan parkir, serta kemitraan dengan UMKM lokal dalam enam bulan pertama beroperasi.
“Tujuan kami bukan menghambat investasi, melainkan menjaga keseimbangan agar pedagang kecil tetap punya ruang hidup,” tegas Nora.
Aturan baru ini diharapkan menjadi titik balik setelah satu dekade perizinan berjalan tanpa kendali daerah, sekaligus memastikan toko modern tumbuh sesuai tata ruang dan kebutuhan masyarakat. (Adv/diskominfo_ktm)






